“Mengejar Cinta dengan Pendidikan”
Judul: “Dompet Ayah Sepatu Ibu”
Penulis: J.S Khairen
Saya pikir, tulisan ini lekat dengan kehidupan orang orang biasa yang hidup di Ranah Minang. Kehidupan yang begitu penuh perjuangan. Dengan latar tempat yang menggambarkan kelekatan kita terhadap lingkungan alam, dengan nama-nama masyarakat Minang yang menggambarkan karakter dalam perjuangan di bangku pendidikan dan demi meraih kesejahteraan hidup. Individu-individu yang menjunjung perjuangan hidup, mengatasi kesulitan-kesulitan dengan peluh dan air mata, serta cara menyelesaikan masalah untuk menyambung hidup.
Dalam kisah ini, Asrul dan Zenna besar dalam keluarga yang sulit. Tekanan demi tekanan dirasakan. Keadaan saat itu yang tidak menentu, tidak menciutkan semangat juang mereka. Mereka mampu melewatinya dengan terus berharap kepada Allah juga doa restu orang tua. Dengan banyak belajar dan menggali ilmu dari berbagai hal, perjuangan profesi setiap bidang yang ditekuni dan diyakini hingga mencapai puncak keberhasilan sampai akhirnya mengangkat derajat keluarga dengan ilmu. Lalu, hadiah-hadiah Tuhan yang begitu bermakna dan penuh berkah bagi keluarga dan lingkungan Asrul.
Novel ini mempersembahkan dua cerita kehidupan berbeda yang dipersatukan keadaan demi masa depan yang diperjuangkan agar lebih layak.
Judul novel tersebut mencerminkan keseluruhan isi cerita. Dompet dari tokoh utama laki-laki, Asrul dan sepatu impian tokoh utama perempuan, Zenna. Benda-benda itu memiliki arti tersendiri dalam perjalanan mereka dengan latar belakang adat Minang di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Marapi, Sumatera Barat.
Zenna merupakan anak tengah yang banyak berkorban untuk keluarganya. Ia harus bersusah payah mewujudkan cita-citanya berkuliah. Sementara Asrul, merupakan anak pertama yang menjalani hidup dengan keras. Ia juga menempa diri agar menyelesaikan pendidikan.
Keduanya dipertemukan sebagai mahasiswa baru di Universitas Padang. Zenna dan Asrul saling menguatkan untuk menghadapi lika-liku kehidupan. Usai lulus, mereka memutuskan menikah dan membina keluarga. Hal itu tak menghilangkan rintangan begitu saja, justru rintangan baru hadir silih berganti.
Novel yang mengaduk emosi, tiap lembar dan babnya membuat rasa sedih, marah, dan kita bisa tertawa sekaligus terharu.
Ada yang menjadikan setiap babnya menarik, yaitu penulis menyajikan quotes empat baris paling banyak.
Satu yang membuat saya terus membacanya berulang-ulang: “Tak ada yang bisa menggetarkan singgasana Sang Maha Pasti, selain doa orang tuamu di kala mereka bersujud.”[]