Buku-Buku Agatha Christie
Aku hanya membaca sebagian kecil–sangat sedikit–dari karya-karya Agatha Christie dalam kurun waktu yang teramat panjang (sejak duduk di bangku SMP hingga usia pernikahanku 19 tahun). Namun, sebagai perempuan yang bisa dikatakan sedikit menggemari cerita detektif, melewatkan serial-serial yang ditulis Agatha adalah sebuah kelalaian yang mendatangkan penyesalan. Aku tidak ingin menyesali apa pun, terlebih saat aku masih punya kesempatan melakukan hal yang semestinya kukerjakan. Membaca adalah bagian dari rekreasi yang paling menyenangkan dan menemukan buku sebagus yang ditulis Christie sama beruntungnya dengan bonus-bonus di hari istimewa, seperti THR saat lebaran, misalnya.
Kembali sejenak pada sosok Agatha Christie yang kisah hidupnya sama menarik dengan novel-novel detektif yang ditulisnya. Aku masih duduk di bangku sekolah dasar waktu pertama mengenal nama Agatha Christie. Beberapa bibi sebelah ayah atau ibuku adalah pembaca majalah wanita yang setia; dua orang yang kuingat dan salah satunya memang sangat suka membaca karena memang kebutuhannya sebagai pendidik, dan satu lagi sangat menggandrungi dunia mode dan kuliner. Beliau merasa perlu wawasan mutakhir dengan berlangganan atau membeli beberapa majalah Femina dan Kartini. Kolom yang kadang-kadang menarik minatku adalah cerpen atau cerbung dan halaman suplemen yang membahas biografi tokoh. Bulan itu mereka menampilkan sosok penulis yang dijuluki Ratu Kejahatan atau The Queen of Crime: Agatha Christie.
Itu adalah sebuah tulisan yang menarik karena merupakan autobiografi alias ditulis sendiri oleh Christie. Dalam ingatan fotografisku yang tak begitu baik, foto-foto dari suplemen majalah yang dicetak monokrom itu menampilkan foto-foto masa kecil Agatha; sorot mata yang sulit dilupakan. Buku-buku di ruang baca (mungkin perpustakaan pribadi) yang menutupi dinding hingga menyentuh sudut langit-langit, Agatha kecil duduk di atas pangkuan kakeknya yang sedang membaca buku, foto-foto pernikahannya pada tahun 1914 dengan Kolonel Archibald (Archie) Christie, seorang pilot Royal Flying Corps. Lalu fotonya bersama Max Mallowan, seorang arkeolog yang tak kalah populer darinya, suami terakhir Agatha Christie. Walaupun untuk selanjutnya dia tak pernah mengganti nama belakang “Christie”-nya dalam karya-karya yang terus dia tulis.
Agatha Christie memang ‘sangat Inggris’ dan banyak warga dunia yang belajar tentang Inggris dari karya-karyanya. Karakter-karakter satire ala Inggris hingga selera humornya yang elegan.
Christie paham mengenai obat-obatan dan farmakologi karena pernah bersekolah di sekolah keperawatan saat Perang Dunia I, dia juga pernah menjadi relawan perawat. Christie banyak melakukan perjalanan selama hidupnya, sebelum dan setelah menikah dan dia mampu mencatat segalanya dengan baik termasuk karakter dan psikologis orang yang kemudian dia bangkitkan dalam karakter novel-novelnya. Tak ada yang bisa memungkiri kesan yang dia ciptakan pada tokoh-tokoh detektif yang tidak hanya satu. Hercule Poirot, Miss Marple, dan Tommy & Tuppence. Bukan hanya novel detektif, dengan nama pena Mary Westmacott, dia banyak menulis novel roman walau tak sepopuler ketika dia menulis serial-serial detektifnya.
Ada tiga buku yang kubaca ulang dalam waktu berdekatan: Pesta Pembunuhan, Pembunuhan di Kereta Orient Express (The Murder on The Orient Express), dan Cat Among the Pigeons. Ketiganya terjemahan yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Sementara serial-serial Tommy dan Tuppence agaknya masih samar-samar di ingatanku, aku hanya mengingat sedikit alur dan akhirnya, tetapi lupa sama sekali dengan gaya berceritanya yang khas di novel tersebut. Banyak peneliti budaya yang mengaitkan karakter-karakter tokoh yang ditulis Agatha dengan kepribadiannya yang sulit ditebak.
Berbicara mengenai gaya berceritanya, mau tak mau aku jadi membandingkan dengan serial detektif kegemaranku, Sherlock Holmes, yang ditulis oleh Sir Arthur Conan Doyle. Ada kekhasan dan kehalusan perempuan yang menandai setiap konflik dan adegan, detail yang biasanya selalu ada di cerita-cerita detektif, tetapi dalam tulisan-tulisan Agatha, dia juga membuat pembaca merasakan hal yang teramat subtil. Wawasannya atau lebih tepatnya ‘pembacaan’-nya pada karakter-karakter orang Inggris khususnya, dan dari berbagai negara (atau paling tidak, itulah yang didengarnya dulu mengenai sifat dan karakter manusia berdasarkan geografis), wawasannya ini teramat luas.
Terserah pembaca ingin menilainya agak terdengar subjektif, tetapi hal itu luar biasa dan jarang ada penulis yang sehalus itu dalam pengamatan sekaligus pemaparannya. Agatha tak hanya memiliki wawasan tentang karakter orang Inggris dan beberapa hal yang diidentifikasi melalui karakter yang memang hadir di masyarakat. Agatha sendiri memiliki kepribadian yang sulit ditebak. Dalam pengaturan dan pengungkapan setiap karakter tokoh yang diciptakan oleh Agatha memang mungkin tampak spesifik, tetapi tema dan karakternya tetap universal. Inilah yang membuat popularitasnya bisa abadi bahkan jauh di luar Inggris.
Satu hal lagi yang unik dari Queen of Crime ini: dia dikenal sebagai seorang disleksik. Dalam pengakuannya di sebuah wawancara, Agatha mengungkapkan, “Saya sendiri, selalu diakui sebagai ‘yang lambat’ dalam keluarga. Itu benar, saya mengetahuinya dan menerimanya.
Motivasi tinggi atau strong why-ku sebagai individu disleksik, dalam hal menulis ini pun karena membaca karya-karya Agatha Christie. Ini adalah ungkapan lainnya dari Agatha: Menulis dan mengeja selalu sulit bagi saya. Surat-surat saya tanpa orisinalitas. Saya adalah pengeja yang sangat buruk dan tetap demikian sampai sekarang. Orang-orang sering bertanya kepada saya, apa yang membuat saya tertarik menulis . . . Saya menemukan diri saya mengarang cerita dan memerankan bagian yang berbeda. Tidak ada kata bosan untuk membuat Anda menulis.[]