Education,  Health,  Sy Aini

Mengenal Anak Melalui Kamus Perasaan

Saat membeli buku ini, melihat tata letak dan ilustrasinya, kukira ini memang beneran buku buat anak, sampai aku membaca tanda usia di belakang kover: U 21+. Ya, buku Apa Namanya? Kamus Perasaan Anak yang ditulis Park, Sung-woo dan ilustrator Kim, Hyo-eun ini ternyata bukan diperuntukkan bagi anak-anak usia 18 tahun ke bawah. 

Walau aku sendiri tentunya tidak melarang Faza yang usianya 10 tahun membaca buku ini. Kadang-kadang Kareem yang usianya 4,8 tahun pun minta aku membacakannya karena tertarik dengan ilustrasi di buku tersebut. Tanda usia di kover belakang menurutku bukanlah larangan untuk dibaca anak, tetapi lebih dimaksudkan bahwa buku ini kemungkinan besar tak serta merta dipahami oleh anak usia di bawahnya. 

Lalu bagi seorang pendidik, pengasuh, dan bagi siapa pun yang ingin meningkatkan kualitas kelekatan dengan orang yang disayanginya, buku ini terasa begitu penting untuk membantu menyelami berbagai rasa yang berkecamuk di hati para anak–bahkan mungkin orang dewasa.

Di buku ini ada kata jemu, resah, cemas, terbebani, lega, riang, dan lain-lain. Banyak narasi-narasi yang perlu pendampingan dan penjelasan lebih lanjut. Itulah barangkali sebabnya buku ini diperuntukkan buat usia dewasa muda ke atas. Isu-isu mental health yang saat ini kian senter dibicarakan dan diangkat dalam tema-tema diskusi maupun buku, membuatnya terasa begitu relate.

Mengenali emosi adalah kebutuhan dasar individu zaman sekarang, itulah sebabnya terasa perlu menjabarkan perasaan tersebut yang pada dasarnya dalam bahasa sehari-hari sudah ada, tetapi kebisingan dan kesibukan dalam kehidupan zaman sekarang membuat banyak orang lupa betapa pentingnya mengenali emosi demi mental yang sehat terjaga. 

Mulai dari kover bukunya yang berwarna kuning butter disertai gambar ilustrasi menggemaskan, buku ini terlihat menarik. Apalagi di prelim buku juga ada petunjuk penggunaan buku. Didesain dengan format yang unik: di atas ada kosakata yang mengungkapkan perasaan tertentu, di bawahnya situasi atau contoh konkret situasi yang menggambarkan perasaan tersebut, dan di sebelah kanan contoh-contoh situasi lainnya. Tentu saja ilustrasi otentik berada tepat di tengah halaman dan membuat pembaca betah hingga lembar terakhir.

Buku yang hak cipta terjemahannya dari Changbi Publisher, Inc. dialihbahasakan oleh Grace Majestyka di PT. Gramedia Pustaka Utama–M&C tahun 2019, penerbit mayor yang kualitas bukunya sudah jaminan mutu. Sebenarnya genre buku ini parenting and family, tapi bukan nggak mungkin dibaca para dewasa muda dan belia juga. 

Aku termasuk orang yang suka menulis jurnal emosi dan buku ini menambah semangat mencatat perasaan-perasaan yang hadir di hari-hari yang aku jalani. Bahwa kecamuk perasaan dan kehadiran perasaan yang beragam adalah sebuah bentuk rahmat yang harus disyukuri. Semua emosi itu valid dan aku semakin takjub dengan ke-Maha Kuasa-an Allah menciptakan hal abstrak dan memberikan ilmu pada manusia untuk menamai perasaan-perasaan tersebut. Jadinya aku tidak membenci situasi buruk yang bisa saja membuat air mata terurai, atau lonjakan-lonjakan semangat dalam dada, atau bisa pula menikmati debaran-debaran yang hadir tiba-tiba. Betapa nikmatnya menjadi manusia yang mampu merasakan semua hal itu.

aku jadi membayangkan, jika hanya ada rasa bahagia atau bersemangat dan tak pernah merasa panik seumur hidupku, bagaimana bisa aku menghidupkan intuisi dan menajamkan insting. Jika hanya perasaan riang yang ada, tak pernah ada perasaan hampa dan menderita, bagaimana manusia bisa merasakan hal-hal renik seperti getaran cinta dan bagaimana ibu bisa merawat bayinya yang masih begitu halus dan lemah? 

Ini adalah hal yang paling dekat dengan kita: perasaan. Ini juga hal yang barangkali paling jauh dari diri kita yang sering kali menampik perasaan yang tak menyenangkan hadir. Entah itu rasa bersalah, menderita, kasihan, kesal, risau, sedih, bahkan sukacita. 

Buku ini mengingatkanku pada buku Pollyanna yang gemar bermain dengan “Permainan Sukacita”. Mungkin jika aku bertemu Lucy Montgomery, aku akan mengatakan padanya, jangan terlalu memaksakan permainan sukacita pada semua orang. Kupikir dia akan setuju jika melihat situasi saat ini amat berbeda dengan situasi dulu.

Kalau dulu, rasanya tidak masalah banyak perasaannya yang disimpan di bilik hati, perasaan tak perlu seluruhnya diungkapkan, apalagi bagi kita yang tumbuh besar dengan budaya Timur. Namun, dalam pengasuhan hari ini, jika kita masih menggunakan mindset lama, untuk apa terlalu ekspresif dan menanyakan perasaan anak. Pokoknya saya ini ibu/ayahnya, dia pasti tahu saya menyayanginya dan saya melakukan segalanya sepenuh hati untuk kebahagiaannya. 

Kemudian datanglah teman yang memujinya, datanglah seseorang  yang memberikannya kado dan membuatnya semringah di momen-momen istimewa. Orang di luar ayah ibunya memberikan kejutan, sementara pengertian dan validasi perasaan tak pernah ia dapatkan dari dalam rumahnya sendiri. Tanpa diminta, ia pun membandingkan perlakuan tersebut dan mulai merasakan perasaan yang nyaman dan bahagia di luar lingkungan keluarganya. Dari sanalah kemudian petaka hadir.

Kerenggangan ikatan emosional di dalam keluarga inti yang kemudian membuat masing-masing individu terlepas dari tempat di mana seharusnya dia tumbuh besar dengan penerimaan yang utuh. Jadi, untuk membentuk pilar yang kuat dalam diri, dimulai dari keluarga yang saling memahami isi hati. Intinya perasaan kita perlu divalidasi.[]  

 

Share it

15,389 Komentar